"Kamu percaya kalau aku korupsi?
(ilustrasi CelestineP)
Tiada hari terlewati tanpa kehadiran
Ana, saudara kembar Ani, karena itu mereka ingin memiliki rumah berdekatan. Impianpun
terwujud, mereka saling berkunjung bila ingin bertemu.
Ani lahir 3 menit lebih awal dari
adik kembarnya Ana. Ibunda tercinta baru saja dipanggil Tuhan.
Mereka sama-sama memiliki anak
tunggal. Daun, anak tunggal Ani, kuliah di Amerika. Sementara itu putri semata
wayang Ana, kuliah di Jakarta.
Ani bersyukur sebab Andi,
suaminya menduduki jabatan penting di salah satu perusahaan milik pemerintah.
Tiada kekurangan suatu apapun. Keluarga Andi menjadi teladan diantara para
direksi dan karyawan.
Suatu hari Ani dikejutkan oleh
tiupan gosip di kumpulan arisan. Cepat atau lambat ia merasakan tiupan itu.
Andi diduga korupsi di kantornya.
“Pah, gimana kabar di kantor?”
“Kenapa ma. Ya gitulah, baik-baik aja” jawab Andi
“Papa, jangan simpan sendiri ya, kalau ada apa-apa kasih tahu mama”.
Malamnya, Ani sengaja menemui Ana
dan curhat padanya, selentingan gosip itu semakin terdengar hebat. Ia mendapati
sindiran di facebook.
“Ana, kok teganya ibu-ibu itu nyindir aku ya”
“Ah, sudahlah Ni, emak-emak nyinyir diamkan saja” sahut Ani
menenangkan.
Tidak biasanya Andi pulang larut
malam kemarin. Andi bilang baru saja dari Singapore menghadiri pertemuan
penting dengan klien dari Eropa. Ani percaya saja, toh selama ini aman-aman
saja selama 23 tahun hidup bersamanya.
Mengganti kekecewaan Ani, Andi memberikan
cincin berlian, hadiah ulang tahun perkawinan ke-23 yang tinggal dua hari lagi.
Tanpa menanyakan harga cincin itu, Ani langsung memasukkan pada jari manisnya.
Tetiba koran pagi memuat suatu
berita hangat, menjadi headline hari itu. Ani membaca koran dengan teliti, kata
demi kata, kalimat demi kalimat tiada terlewat. Hatinya berdegup kencang.
Ani memanggil sopir untuk
membelikan beberapa koran lain yang terbit hari itu. Hampir semua koran memuat
berita Andi yang menjadi headline, “AP Diduga
Korupsi 90 milyar”
Air mata Ani mengambang di
pelupuk matanya, tak tahan lalu menetes.
Ia ingin segera bertemu sang
suami, tapi ia harus bersabar, Andi sedang di kantor. Diurungkannya untuk
menelpon, kuatir suasana menjadi ribut mengganggu ketenangan Andi bekerja.
Setiba Andi di rumah.
“Pah, Ani mau tanya, ini harus dijawab jujur, apa benar Papah korupsi
atau enggak?”
“Sumpah Ma, itu kan dugaan, sepertinya ada direksi lain yang sirik.
Mama sendiri percaya enggak, kalau aku korupsi?”
“Engga…”
“Ya udah, itu jawabannya” terdengar sinis
Walau jawaban Andi agak
melemaskan otot wajahnya, hati Ani masih bertanya-tanya diliputi keraguan antara percaya atau tidak
Seperti biasa, Ani curhat pada
saudara kembarnya. Jauh di lubuk hatinya, ia sangsi terhadap jawaban-jawaban
suaminya.
Hari demi hari, tambah santer
saja berita di media serta berita online. Isu panas selalu menjadi headline,
serta menjadi sorotan perusahaan asing dalam dan luar negri.
Delapan bulan berlalu Ani taat
pada kata-kata Andi agar selalu bersabar. Ia yakin bahwa Andi bukan pencuri
uang milyaran itu.
Suatu ketika di pagi hari yang cerah,
koran-koran memuat berita hangat kembali. Semua berita online cenderung
menggiring Andi menuju status tersangka didukung wawancara TV beberapa direksi
dan seorang asisten pribadi.
Ani langsung menemui Andi di kamar
yang hendak bersiap ke kantor.
“Untuk apa ke kantor, semua koran sudah ramai Pah!” nada tinggi Ani
sambil melempar koran ke tempat tidur.
“Itu politis ma, banyak orang sirik, kita lihat saja nanti di
persidangan”
Kembali hatinya dingin oleh
kata-kata Andi. Ani percaya, bukan, bukan Andi. Andi tidak akan melakukan itu.
Ia bahkan teringat, Ibundanya menyekolahkan Andi hingga duduk di kursi jabatan
penting itu. Mana mungkin ia melakukannya. Bukankah kami tidak kekurangan
selama ini. Untuk apa uang sebanyak itu?
Ani menjauhi kumpulan arisan sejak
Andi menjadi pusat pemberitaan. Ia selalu berdua dengan Ana di rumahnya. Ia
selalu merasa setiap orang membincangkannya.
Ani dengan nada tengil membalas
sindiran-sindiran di facebook. Ia yakin bukan suaminya. Jika Andi korupsi,
dimana uang itu, ia tidak pernah menerima uang dengan jumlah berlimpah.
Ia tidak dapat menghindari berita
online. Selalu saja muncul wajah suaminya di beranda pencarian. Semakin hari,
semakin tertikam hatinya hingga suatu hari Ani merasa tertekan. Jiwanya tidak
sebebas dulu. Tiada selera makan, tiada kegiatan lain kecuali curhat pada Ana.
Tetiba Ani jatuh sempoyongan di
tangga rumahnya. Ia dibawa ke rumah sakit. Andi sesekali datang, mendampinginya.
Menginjak hari opname ke-27. Andi tetap tidak mengaku perbuatannya.
Hari ke-28, kondisi Ani semakin
lemah. Dokter mengatakan bahwa waktunya tidak akan lama lagi. Seketika Andi
memegang tangan Ani. Sambil menepis tangan Andi, lirihnya “kamu sudah bohong selama ini Andi, kamu membohongi aku, kamu pembohong…”
Hanya Ana yang menangis.
Comments
Post a Comment