Butiran Salju (Part 13) : Terkecoh Pemimpin Urakan

 

(ilustrasi pixabay)

Terkecoh Pemimpin Urakan

Seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan. Tidak selamanya laju perusahaan bergerak lancar. Ada saja masalah terjadi namun sebagian besar dapat terselesaikan dengan baik.

Model kepemimpinan Boyke dan Tynera adalah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada sang pemimpin.

Suatu hari tanpa diduga, peristiwa yang menjadi sejarah akhirnya terungkap. Memberi kepercayaan sepenuh pada manajemen tidak selamanya dibenarkan.

Apabila hal itu dibarengi oleh pengawasan yang lemah, akan berakibat usia perusahaan tak akan bertahan.

Kisahnya ketika seorang General Manager memainkan sistem keuangan yang dapat diterobos permainan Financial Controller.

Peristiwa ini diawali penemuan seorang karyawan baru yaitu wakil Director Finance yang baru direkrut 7 hari.

Menyembunyikan temuan ini sama dengan bunuh diri, pikirnya. Ia membongkar seluruh keborokan yang baru tercium sengitnya.

Boyke mengetahui setelah dikirimi laporan terperinci setebal 300 halaman berisi kabar penipuan ini.

Head office akhirnya menyerahkan kepada ranah hukum agar diproses segera. Walau bagaimanapun keputusan ini menyebabkan Rp 5 milyar terkuras di dalam buku kas.

Tiada kompromi sejauh ini, baik menyita harta koruptor atau berdiskusi kekeluargaan.

Kejadian ini membuat seluruh manajemen terhenyak. Pembenahanpun dilakukan di semua departemen Hotel Rachel.

Tynera mempelajari kembali semua halaman yang telah tertinggal di bukunya, ia menemukan kalimat ini.

“The key responsibility of leadership is to think about the future. No one else can do it for you.”

Pemimpin serakah tidak memikirkan masa depan dirinya dan perusahaan. Karena itu mengenyahkannya dari perusahaan akan memberangus kutu-kutu yang berkeliaran di sekelilingnya.

Terpenting adalah penekanan buka apa yang kita lakukan tetapi siapa yang melakukan.

“Leadership is more who you are than what you do.”

Boyke dan Tynera pantang berdiskusi perihal pekerjaan di rumah. Mereka tenggelam dalam keseharian yang bersahaja. Kesibukan tidak pernah diungkap di meja makan.

“Babe, shall we go for dine out?” ajak Boyke

“Yah, of course. Only us?

“Yes, I wanna show you something later”

Boyke mengecup kening Nera. Baginya, perempuan ini bagai seorang malaikat. Ia sangat mencintai istri yang semakin disibukkan oleh berbagai pekerjaan.

Walau usia menjelang 60, Boyke selalu romantis. Hal inilah yang membahagiakan Tynera. Pribadi yang menyenangkan, bergairah tanpa pernah lesu.

Tynera membalik satu berita pada salah satu majalah ternama. Ia terhenti ketika kisah “Terpeleset” dan membacanya.

Begini kisahnya.

Lelaki paruh baya itu menyisir jalan pertokoan. Pandangannya menerawang, kosong. Berjalan gontai. Kakinya menapaki trotoar.

Gedeblug!! Kakinya tersandung batu. Wajah pilu, meringis, kesakitan. Tempat pejalan kaki itu buruk, berlubang sepanjang jalan.

Sobi menoleh ke kiri kanan jalanan. Kota sudah berubah. Cukup lama ia kenal kota itu. Sejak lulus kuliah hingga memangku jabatan tinggi. Toko kelontong berubah menjadi hotel. Tempat dirinya bersenda guraui menjadi salon kecantikan.

Tiba di depan sebuah toko, dahinya berkerut. Wajahnya meringis, memegang luka di kaki akibat bongkahan semen trotoar tadi. Kulit sedikit terkelupas. Ia sudah cukup mengutuki dirinya.

Sobi menghampiri penjual soto. Pagi tadi belum sarapan. Semalam ia menumpang tidur di rumah seorang teman, Keluarga kerabat itu hanya sanggup menerima kehadirannya satu malam saja.

 Hanya 5 menit ia habiskan nasi soto. Diisapnya sebatang rokok. Menguap sekejap lalu mengisap lagi. Asap rokok memerahkan matanya.

Hari pukul 11:00, mentari terik menyambut sibuknya kota. Di sebrang jalan, para kondektur di terminal bis sibuk meluruskan bisnya. Sekejap Sobi mengenang masa lalu.

Sepuluh tahun lalu dirinya berkantor di sudut jalan itu. Sekilas terbayang wajah sekertaris, Sri.

Sobi menarik nafas. Topinya dibiarkan menutup pandangannya, Wajah Wulan dan kedua anaknya di pelupuk mata. Ia merindu.

Sejenak bermain dengan asap rokok. Seolah asap dapat menghapus pikiran ruwetnya. Bayang-bayang wajah Wulan dan anak berkelebat kembali di matanya.

Sepuluh tahun lalu, manager dan staf penjualan menghadap padanya. Bujukan agar meloloskan pemasok mesin baru, dItolaknya mentah-mentah.

Kesempatan kedua, Sobi sadar ia dikucilkan. Tim  kerja kisruh, saling mengadu  domba. Tujuannya jelas, Sobi setengah dipaksa menandatangani perjanjian kerjasama dengan iming-iming imbalan komisi.

Akhirnya Roni dan Hendi, bawahannya yang selalu setia memberikan presentasi dalam pertemuan penting. Bertiga dalam diskusi serius. Sang manager membeberkan melalui power point. Lengkap dan lugas. Seorang staf, mengulas kembali kesempatan berkolaborasi.

Kali ini Sobi senang. Bertiga mereka puas, diskusi berjalan lancar.

Waktu berlalu cepat, kedua anak beranjak remaja, istri cantik anugrahNya, karir gemilang, Lengkaplah kebahagiaan. Keluarga Sobi menjadi contoh teladan di kantor.

Lima Bulan kemudian Sobi membeli sebidang tanah di kampung halaman. Pensiun kelak, ia ingin berkebun menanam sayuran dan buah-buahan. Menikmati hari tua bersama istri tercinta, anak-anak serta cucu.

Tak lama berselang,  seorang kawan bisnis menawarkan sebuah rumah di Kelapa Gading. Tertarik ingin memiliki rumah lebih nyaman, ia langsung menyimpan sertifikat rumah baru atas nama Wulan.

Istrinya bertanya dari mana uang sebanyak itu. Sobi terdiam. Hatinya bergetar saat istri mengulang pertanyaan. Ia simpan rasa gentar di sudut ruang hati.

Hidup ibarat gelombang lautan.

Suatu sore, breaking news di semua TV channel. Media gaduh, koran, majalah, medsos.  Seorang manager dan staff dicokok KPK. Tinggalah dirinya sebagai direktur, menjadi target bidikan KPK. Sobi, penanggung jawab tingkah polah kedua bawahannya.

Suatu petang Sobi diciduk di rumah megahnya. Sang istri dan kedua anak terkejut. Diam adalah emas, pikirnya. Ia diam selama persidangan. Ia menyalahkan diri. Kenapa setuju rencana itu.

Pikirannya ruwet, hati bergejolak, sedih, malu, sesal.

Sebidang tanah persiapan pensiun tinggal impian. Rumah mewah diberendel. Wulan dan anak-anak, pulang ke rumah mertua.

Hakim mengetuk palu, menjatuhkan hukuman. Cuaca berganti. Langit kelabu.

Delapan tahun sudah, Sobi menginap di hotel prodeo. Terlalu lama keluarga tidak menjenguk. Sobi terlupakan. Sebatang kara. Entah dimana istri dan anak.

17 Agustus 2020

Sobi melangkah keluar jeruji besi, udara dingin berhembus, berkat remisi tepat di hari kemerdekaan.

Kebingungan mencari saudara dan handai taulan. Ia ingin membeli gawai murah. Ia akan mencari istri dan anaknya. Ingin bersimpuh di kaki ibunda. Mengapa gerangan ia abai terhadap petuah ibu.

Saat kecil, ibunya selalu berpesan agar pandai menjaga diri, rajin beribadah, selalu ingat Sang Pencipta sebab Dia melihat dari atas.

19 Agustus 2020

“Sudah Pak?”

Tukang soto membangunkan lamunan Sobi. Dibayarnya seporsi nasi soto, uang pemberian seorang kawan. Sobi melangkah menuju toko gawai, menghubungi seseorang. Hanya nomor itu satu-satunya yang ia hafal.

 Hanya 3 dering, seorang perempuan menjawab panggilan telpon Sobi. Suranya bergetar, tersendat. Seketika wajah Sobi merah padam, tertunduk, sinar matanya redup.

Suara parau seorang perempuan berumur itu meresahkan hatinya. Suaminya, Bekti, wafat 7 hari lalu karena covid.

Sobi terbelalak, sorot mata menerawang, tubuhnya lemas. Sebelum masuk penjara, Sobi menitipkan uang dalam koper kecil kepada Bekti.

Bekti berpulang. Uang itu entah dimana.

Pesan dari kisah ini, pikirkan secara matang sebelum melakukan suatu tindakan. Jangan terbuai cara halus untuk memenangkan kelicikan.

Berlindunglah pada Sang Kuasa agar terhindar dari peristiwa buruk serta berbakti pada orang tua.

 

Bersambung Butiran Salju (Part 14) : Menjelang masa remaja sang putri

Comments