(ilustrasi pixabay)
Terkecoh
Pemimpin Urakan
Seorang pemimpin sangat
berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan. Tidak selamanya laju perusahaan
bergerak lancar. Ada saja masalah terjadi namun sebagian besar dapat
terselesaikan dengan baik.
Model kepemimpinan Boyke dan Tynera
adalah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada sang pemimpin.
Suatu hari tanpa diduga,
peristiwa yang menjadi sejarah akhirnya terungkap. Memberi kepercayaan sepenuh
pada manajemen tidak selamanya dibenarkan.
Apabila hal itu dibarengi oleh
pengawasan yang lemah, akan berakibat usia perusahaan tak akan bertahan.
Kisahnya ketika seorang General
Manager memainkan sistem keuangan yang dapat diterobos permainan Financial
Controller.
Peristiwa ini diawali penemuan
seorang karyawan baru yaitu wakil Director Finance yang baru direkrut 7 hari.
Menyembunyikan temuan ini sama
dengan bunuh diri, pikirnya. Ia membongkar seluruh keborokan yang baru tercium
sengitnya.
Boyke mengetahui setelah dikirimi
laporan terperinci setebal 300 halaman berisi kabar penipuan ini.
Head office akhirnya menyerahkan
kepada ranah hukum agar diproses segera. Walau bagaimanapun keputusan ini
menyebabkan Rp 5 milyar terkuras di dalam buku kas.
Tiada kompromi sejauh ini, baik
menyita harta koruptor atau berdiskusi kekeluargaan.
Kejadian ini membuat seluruh
manajemen terhenyak. Pembenahanpun dilakukan di semua departemen Hotel Rachel.
Tynera mempelajari kembali semua halaman
yang telah tertinggal di bukunya, ia menemukan kalimat ini.
“The key responsibility of leadership is to think about the future. No
one else can do it for you.”
Pemimpin serakah tidak memikirkan
masa depan dirinya dan perusahaan. Karena itu mengenyahkannya dari perusahaan akan
memberangus kutu-kutu yang berkeliaran di sekelilingnya.
Terpenting adalah penekanan buka
apa yang kita lakukan tetapi siapa yang melakukan.
“Leadership is more who you are than what you do.”
Boyke dan Tynera pantang
berdiskusi perihal pekerjaan di rumah. Mereka tenggelam dalam keseharian yang
bersahaja. Kesibukan tidak pernah diungkap di meja makan.
“Babe, shall we go for dine out?”
ajak Boyke
“Yah, of course. Only us?
“Yes, I wanna show you something
later”
Boyke mengecup
kening Nera. Baginya, perempuan ini bagai seorang malaikat. Ia sangat mencintai
istri yang semakin disibukkan oleh berbagai pekerjaan.
Walau usia
menjelang 60, Boyke selalu romantis. Hal inilah yang membahagiakan Tynera.
Pribadi yang menyenangkan, bergairah tanpa pernah lesu.
Tynera membalik
satu berita pada salah satu majalah ternama. Ia terhenti ketika kisah “Terpeleset”
dan membacanya.
Begini kisahnya.
Lelaki paruh baya
itu menyisir jalan pertokoan. Pandangannya menerawang, kosong. Berjalan gontai.
Kakinya menapaki trotoar.
Gedeblug!! Kakinya
tersandung batu. Wajah pilu, meringis, kesakitan. Tempat pejalan kaki itu
buruk, berlubang sepanjang jalan.
Sobi menoleh ke
kiri kanan jalanan. Kota sudah berubah. Cukup lama ia kenal kota itu. Sejak
lulus kuliah hingga memangku jabatan tinggi. Toko kelontong berubah menjadi
hotel. Tempat dirinya bersenda guraui menjadi salon kecantikan.
Tiba di depan
sebuah toko, dahinya berkerut. Wajahnya meringis, memegang luka di kaki akibat
bongkahan semen trotoar tadi. Kulit sedikit terkelupas. Ia sudah cukup
mengutuki dirinya.
Sobi menghampiri
penjual soto. Pagi tadi belum sarapan. Semalam ia menumpang tidur di rumah
seorang teman, Keluarga kerabat itu hanya sanggup menerima kehadirannya satu
malam saja.
Hari pukul 11:00,
mentari terik menyambut sibuknya kota. Di sebrang jalan, para kondektur di
terminal bis sibuk meluruskan bisnya. Sekejap Sobi mengenang masa lalu.
Sepuluh tahun lalu
dirinya berkantor di sudut jalan itu. Sekilas terbayang wajah sekertaris, Sri.
Sobi menarik nafas.
Topinya dibiarkan menutup pandangannya, Wajah Wulan dan kedua anaknya di
pelupuk mata. Ia merindu.
Sejenak bermain
dengan asap rokok. Seolah asap dapat menghapus pikiran ruwetnya. Bayang-bayang
wajah Wulan dan anak berkelebat kembali di matanya.
Sepuluh tahun lalu,
manager dan staf penjualan menghadap padanya. Bujukan agar meloloskan pemasok
mesin baru, dItolaknya mentah-mentah.
Kesempatan kedua,
Sobi sadar ia dikucilkan. Tim kerja
kisruh, saling mengadu domba. Tujuannya
jelas, Sobi setengah dipaksa menandatangani perjanjian kerjasama dengan
iming-iming imbalan komisi.
Akhirnya Roni dan
Hendi, bawahannya yang selalu setia memberikan presentasi dalam pertemuan
penting. Bertiga dalam diskusi serius. Sang manager membeberkan melalui power
point. Lengkap dan lugas. Seorang staf, mengulas kembali kesempatan
berkolaborasi.
Kali ini Sobi
senang. Bertiga mereka puas, diskusi berjalan lancar.
Waktu berlalu
cepat, kedua anak beranjak remaja, istri cantik anugrahNya, karir gemilang, Lengkaplah
kebahagiaan. Keluarga Sobi menjadi contoh teladan di kantor.
Lima Bulan kemudian
Sobi membeli sebidang tanah di kampung halaman. Pensiun kelak, ia ingin
berkebun menanam sayuran dan buah-buahan. Menikmati hari tua bersama istri
tercinta, anak-anak serta cucu.
Tak lama
berselang, seorang kawan bisnis
menawarkan sebuah rumah di Kelapa Gading. Tertarik ingin memiliki rumah lebih
nyaman, ia langsung menyimpan sertifikat rumah baru atas nama Wulan.
Istrinya bertanya
dari mana uang sebanyak itu. Sobi terdiam. Hatinya bergetar saat istri
mengulang pertanyaan. Ia simpan rasa gentar di sudut ruang hati.
Hidup ibarat
gelombang lautan.
Suatu sore,
breaking news di semua TV channel. Media gaduh, koran, majalah, medsos. Seorang manager dan staff dicokok KPK.
Tinggalah dirinya sebagai direktur, menjadi target bidikan KPK. Sobi,
penanggung jawab tingkah polah kedua bawahannya.
Suatu petang Sobi
diciduk di rumah megahnya. Sang istri dan kedua anak terkejut. Diam adalah
emas, pikirnya. Ia diam selama persidangan. Ia menyalahkan diri. Kenapa setuju
rencana itu.
Pikirannya ruwet,
hati bergejolak, sedih, malu, sesal.
Sebidang tanah
persiapan pensiun tinggal impian. Rumah mewah diberendel. Wulan dan anak-anak,
pulang ke rumah mertua.
Hakim mengetuk palu, menjatuhkan hukuman. Cuaca berganti. Langit kelabu.
Delapan tahun
sudah, Sobi menginap di hotel prodeo. Terlalu lama keluarga tidak menjenguk.
Sobi terlupakan. Sebatang kara. Entah dimana istri dan anak.
17 Agustus 2020
Sobi melangkah
keluar jeruji besi, udara dingin berhembus, berkat remisi tepat di hari
kemerdekaan.
Kebingungan mencari
saudara dan handai taulan. Ia ingin membeli gawai murah. Ia akan mencari istri
dan anaknya. Ingin bersimpuh di kaki ibunda. Mengapa gerangan ia abai terhadap
petuah ibu.
Saat kecil, ibunya
selalu berpesan agar pandai menjaga diri, rajin beribadah, selalu ingat Sang
Pencipta sebab Dia melihat dari atas.
19 Agustus 2020
“Sudah Pak?”
Tukang soto
membangunkan lamunan Sobi. Dibayarnya seporsi nasi soto, uang pemberian seorang
kawan. Sobi melangkah menuju toko gawai, menghubungi seseorang. Hanya nomor itu
satu-satunya yang ia hafal.
Suara parau seorang
perempuan berumur itu meresahkan hatinya. Suaminya, Bekti, wafat 7 hari lalu
karena covid.
Sobi terbelalak, sorot mata menerawang, tubuhnya lemas. Sebelum masuk penjara, Sobi menitipkan uang dalam koper kecil kepada Bekti.
Bekti berpulang.
Uang itu entah dimana.
Pesan dari kisah
ini, pikirkan secara matang sebelum melakukan suatu tindakan. Jangan terbuai
cara halus untuk memenangkan kelicikan.
Berlindunglah pada
Sang Kuasa agar terhindar dari peristiwa buruk serta berbakti pada orang tua.
Bersambung
Butiran Salju (Part 14) : Menjelang masa remaja sang putri
Comments
Post a Comment